M. Yahya Waloni : Menemukan Kebenaran dalam Islam
Penulis : Redaksi KSC
Sebagai pakar teologi, Pendeta Yahya Yopie Waloni sangat mengetahui teori-teori yang ada dalam agama Islam. Meskipun masih beragama Kristen, Yahya memandang teori apa pun yang ada di Islam sangat benar. Islam pun, mampu menceritakan peradaban dunia dari yang lalu sampai sekarang. Bahkan, agama Kristen diceritakan pula dalam Islam.
Namun, menurut pria kelahiran Manado tahun 1970 ini, yang paling membuatnya tunduk patuh hingga memutuskan untuk masuk Islam pada Oktober 2006 adalah Islam menunjuk satu individu yang sangat tepat untuk menyebarkan ajarannya. ''Ada satu individu yang membuat saya tunduk dan patuh, dia buta huruf tapi bisa menyusun Al-Qur'an secara sistematis,'' ujar pria yang mengganti namanya menjadi M. Yahya Waloni setelah memeluk agama Islam itu kepada Republika.
Menurut suami dari Lusiana (33) yang mengganti namanya menjadi Mutmainnah setelah memeluk Islam itu, dirinya masuk agama Islam karena dari sistematika teori Islam sudah benar. Sebagai akademisi, kata dia, dirinya pun berpikir orang yang sudah memilih teori yang benar saja bisa salah, apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. ''Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah, apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. Jadi, saya mengakui Islam secara teori dan spiritual,'' ujar Yahya.
Ketertarikan Yahya untuk masuk Islam, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil, saat berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke masjd karena tertarik melihat banyak orang Islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya, yaitu baju ikhram. Selain itu, dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di masjid-masjid.
''Saya hanya berani ke masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur oleh bapak saya. Kalau nekad ke masjid lagi, saya takut bapak saya yang seorang tentara akan menggantung saya,'' ujar pria yang memiliki hobi bermain gendang ini.
Namun, sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam adalah pengalaman spiritual yang dialaminya. ”Suatu hari, saya bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli,” ia memulai kisahnya.
Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu pertemuan yang sama, yaitu pukul 09.45 WITA. ''Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Dia baik sekali dengan saya,'' ujar bapak dari Silvana (8 tahun, kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7 tahun, menjadi Siti Sarah), dan Zakaria (4 tahun) ini.
Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal Islam. Anehnya, kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus sekolah dasar (SD) itu sangat mahir dalam menceritakan soal Islam. Ia makin tertarik pada Islam.
Namun, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli. ”Saat saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda,” tambahnya.
Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Karena dipengaruhi oleh pendeta dan saudara-saudaranya. ''Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai,'' katanya.
Namun, sambung dia, tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadhan 1427 Hijriyah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 WITA, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara, dia di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. ''Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,'' kata Yahya.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam.
Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas. ”Setelah sadar, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,'' ujarnya.
Setelah diceritakan ke istrinya, kata dia, istrinya semakin tidak percaya dan ingin bercerai dengan Yahya. Namun, beberapa jam kemudian, istrinya menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan. Akhirnya istri saya yang mengajak segera masuk Islam,'' katanya.
Akhirnya, kata Yahya, bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 WITA melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah, Yahya dan istrinya mengucapkan dua kalimat syahadat. ''Kekuatan saya, sekarang hanya shalat tahajud malam dan Dhuha pukul 08.00,'' ujar mantan Rektor UKI Papua ini.
Namun, menurut pria kelahiran Manado tahun 1970 ini, yang paling membuatnya tunduk patuh hingga memutuskan untuk masuk Islam pada Oktober 2006 adalah Islam menunjuk satu individu yang sangat tepat untuk menyebarkan ajarannya. ''Ada satu individu yang membuat saya tunduk dan patuh, dia buta huruf tapi bisa menyusun Al-Qur'an secara sistematis,'' ujar pria yang mengganti namanya menjadi M. Yahya Waloni setelah memeluk agama Islam itu kepada Republika.
Menurut suami dari Lusiana (33) yang mengganti namanya menjadi Mutmainnah setelah memeluk Islam itu, dirinya masuk agama Islam karena dari sistematika teori Islam sudah benar. Sebagai akademisi, kata dia, dirinya pun berpikir orang yang sudah memilih teori yang benar saja bisa salah, apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. ''Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah, apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. Jadi, saya mengakui Islam secara teori dan spiritual,'' ujar Yahya.
Ketertarikan Yahya untuk masuk Islam, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil, saat berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke masjd karena tertarik melihat banyak orang Islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya, yaitu baju ikhram. Selain itu, dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di masjid-masjid.
''Saya hanya berani ke masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur oleh bapak saya. Kalau nekad ke masjid lagi, saya takut bapak saya yang seorang tentara akan menggantung saya,'' ujar pria yang memiliki hobi bermain gendang ini.
Namun, sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam adalah pengalaman spiritual yang dialaminya. ”Suatu hari, saya bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli,” ia memulai kisahnya.
Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu pertemuan yang sama, yaitu pukul 09.45 WITA. ''Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Dia baik sekali dengan saya,'' ujar bapak dari Silvana (8 tahun, kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7 tahun, menjadi Siti Sarah), dan Zakaria (4 tahun) ini.
Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal Islam. Anehnya, kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus sekolah dasar (SD) itu sangat mahir dalam menceritakan soal Islam. Ia makin tertarik pada Islam.
Namun, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli. ”Saat saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda,” tambahnya.
Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Karena dipengaruhi oleh pendeta dan saudara-saudaranya. ''Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai,'' katanya.
Namun, sambung dia, tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadhan 1427 Hijriyah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 WITA, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara, dia di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. ''Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,'' kata Yahya.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam.
Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas. ”Setelah sadar, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,'' ujarnya.
Setelah diceritakan ke istrinya, kata dia, istrinya semakin tidak percaya dan ingin bercerai dengan Yahya. Namun, beberapa jam kemudian, istrinya menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan. Akhirnya istri saya yang mengajak segera masuk Islam,'' katanya.
Akhirnya, kata Yahya, bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 WITA melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah, Yahya dan istrinya mengucapkan dua kalimat syahadat. ''Kekuatan saya, sekarang hanya shalat tahajud malam dan Dhuha pukul 08.00,'' ujar mantan Rektor UKI Papua ini.
Dari Republika Online dan KotaSantri.com
No comments:
Post a Comment